Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta majelis hakim pengadilan menyelenggarakan sidang teleconference untuk mendengarkan keterangan saksi mahkota dan korban yang berada dibawah perlindungannya. Usulan inipun dinilai positif dalam hukum acara pidana.
"Ini untuk melindungi saksi dan korban. Di sisi lain saksi atau korban bisa lebih terbuka dalam memberikan keterangan, hal ini berbeda bila yang bersangkutan datang ke pengadilan, pasti ada rasa tertekan, takun dan lainnya," kata pengamat hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Antonius Sidik, saat berbincang dengan detikcom, Senin (7/3/2011) malam.
Menurut Anton, sudah saatnya dalam hukum acara mengatur perlindungan bagi saksi dan korban termasuk juga Wishtle Blower. Dengan adanya perlindungan bagi para saksi dan korban diharapkan pengungkapan kasus tindak pidana jadi lebih mudah.
"Teleconference bisa juga dilakukan meskipun pada sidang yang tertutup. Ini untuk melindungi psikologis saksi, yang mungkin terancam bila harus ke pengadilan," terangnya.
Meski demikian, usulan ini tentu bukan tanpa halangan, mengingat dalam hukum acara juga dikenal adanya peradilan cepat dan biaya murah. Teleconference bisa dianggap menyalahi azas tersebut.
"Itu bisa diatasi dengan sidang yang dipercepat temponya, tetapi memang memerlukan persetujuan dari KY soal usulan itu. Namun dari sisi perlindungan itu sangat baik,"imbuhnya.
Sebelumnya LPSK meminta kepada seluruh pengadilan se-Indonesia agar menyelenggarakan sidang teleconference untuk mendengarkan keterangan saksi mahkota dan korban yang berada dibawah perlindungannya. Permintaan tersebut disampaikan melalui Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga pengawas hakim.
"Selain kesaksian saksi yang penting, juga kepada korban boleh memberikan kesaksian lewat teleconfrence. LPSK lalu meminta pendapat ke KY, bagaimana jika hakim tidak meloloskan permohonan sidang teleconfrance," kata Komisioner KY, Taufikurrahman Syahuri kemarin.
Nantinya, saksi mahkota atau korban akan memberikan kesaksian di rumah perlindungan yang tersembunyi. Lewat teknologi berupa teleconfrance, saksi mahkota atau korban hanya hadir berupa audio video yang dapat disaksikan melalui tanyangan layar lebar di ruang pengadilan tempat sidang berlangsung.
"Tapi kalau hakim yang berpikiran maju, harus dilaksanakan. Ini sudah pernah dilaksanakan baik lewat MK atau MA. Tapi ini perlu kajian lebih jauh. Paling tidak, KY akan ketemu dengan MA untuk mendiskusikan ini," tambah Syahuri.
"Ini untuk melindungi saksi dan korban. Di sisi lain saksi atau korban bisa lebih terbuka dalam memberikan keterangan, hal ini berbeda bila yang bersangkutan datang ke pengadilan, pasti ada rasa tertekan, takun dan lainnya," kata pengamat hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Antonius Sidik, saat berbincang dengan detikcom, Senin (7/3/2011) malam.
Menurut Anton, sudah saatnya dalam hukum acara mengatur perlindungan bagi saksi dan korban termasuk juga Wishtle Blower. Dengan adanya perlindungan bagi para saksi dan korban diharapkan pengungkapan kasus tindak pidana jadi lebih mudah.
"Teleconference bisa juga dilakukan meskipun pada sidang yang tertutup. Ini untuk melindungi psikologis saksi, yang mungkin terancam bila harus ke pengadilan," terangnya.
Meski demikian, usulan ini tentu bukan tanpa halangan, mengingat dalam hukum acara juga dikenal adanya peradilan cepat dan biaya murah. Teleconference bisa dianggap menyalahi azas tersebut.
"Itu bisa diatasi dengan sidang yang dipercepat temponya, tetapi memang memerlukan persetujuan dari KY soal usulan itu. Namun dari sisi perlindungan itu sangat baik,"imbuhnya.
Sebelumnya LPSK meminta kepada seluruh pengadilan se-Indonesia agar menyelenggarakan sidang teleconference untuk mendengarkan keterangan saksi mahkota dan korban yang berada dibawah perlindungannya. Permintaan tersebut disampaikan melalui Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga pengawas hakim.
"Selain kesaksian saksi yang penting, juga kepada korban boleh memberikan kesaksian lewat teleconfrence. LPSK lalu meminta pendapat ke KY, bagaimana jika hakim tidak meloloskan permohonan sidang teleconfrance," kata Komisioner KY, Taufikurrahman Syahuri kemarin.
Nantinya, saksi mahkota atau korban akan memberikan kesaksian di rumah perlindungan yang tersembunyi. Lewat teknologi berupa teleconfrance, saksi mahkota atau korban hanya hadir berupa audio video yang dapat disaksikan melalui tanyangan layar lebar di ruang pengadilan tempat sidang berlangsung.
"Tapi kalau hakim yang berpikiran maju, harus dilaksanakan. Ini sudah pernah dilaksanakan baik lewat MK atau MA. Tapi ini perlu kajian lebih jauh. Paling tidak, KY akan ketemu dengan MA untuk mendiskusikan ini," tambah Syahuri.
0 comments:
Post a Comment