Wednesday, March 9, 2011

Mencari Makna Hari Musik Nasional

Musik adalah jemari halus yang mengetuk pintu kalbu untuk membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap. Ketukan jemari itu membuat hamparan kenangan hadir kembali, setelah hilang di telan pekatnya malam. Ketukan itu membuat kenangan masa silam terbuka kembali, setelah di selubungi berbagai peristiwa yang selalu datang silih berganti.

Alunan nada nada musik adalah senandung lembut yang kerap hadir di lembah lembah imajinasi. Jika nada nada itu di lantunkan dalam melodi kesedihan, maka ia menghadirkan kenangan silam di saat gundah dan putus asa. Tapi jika di lantunkan pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam di saat damai dan bahagia.
Alunan nada nada musik adalah kumpulan suara kesedihan yang membuat segala kegelisahan memenuhi tulang rusuk, lalu menghadirkan seribu duka. Tapi ia juga bisa berupa susunan kata kata ceria yang segera menguasai kalbu kita, lalu menari riang disela tulang rusuk, menghadirkan seribu bahagia.

Alunan nada musik adalah bunyi petikan pada dawai, yang masuk ke pendengaran kita membawa gelombang lembut. Kadang ia mampu memaksa tetesan airmata menyeruak dari kelopak, kerana merasa gerah bagai tersulut oleh api kerinduan, tak tahan pada desakan gelisah cinta saat berpisah dengan kekasih, kerana himpitan kepedihan cinta yang luka tergores cakar cakar penantian.

Namun ia juga mempu menghadirkan simpul senyuman yang keluar perlahan dari gerakan lembut sepasang bibir indah, sebagai isyarat rasa senang bahagia. Alunan nada musik adalah nafas terakhir akalnya hati dan nafasnya jiwa.


Hari Musik Nasional

Hari Musik Nasional ditetapkan 9 Maret, diusulkan tahun lalu oleh Persatuan Artis, Pencipta dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) sebagai penghargaan atas Wage Rudolf Supratman –sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya– yang lahir pada hari Selasa Wage, 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.

Musik sudah menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebutuhan itu timbul dari kebiasaan. Sejak balita, kebanyakan orang sudah “dicekoki” oleh ibu dengan nada-nada. Saat mau menidurkan bayinya, ibu menyanyikan lagu “Nina Bobo”; saat makan, ibu menyanyikan “Aku Anak Sehat”; dan ibu selalu mengekpresikan pesan yang ingin disampaikan pada sang buah hati dengan lagu. Dari kebiasaan itu maka sejak kecil kita terbiasa dengan lagu dan lama-kelamaan menjadi kebutuhan yang sulit untuk tidak memenuhinya.

Kebutuhan akan musik menjadikan kesamaan peran dengan kebutuhan lain yang diperjualbelikan seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Namun berbeda tingkat kebutuhannya. Kalau kebutuhan akan informasi pada era teknologi komunikasi ini sudah naik tingkat dari kebutuhan sekunder menjadi pimer, maka musik nantinya juga akan menuju ke arah itu. Kebutuhan akan musik juga telah menjadikannya komoditi. Musik sebagai komoditi telah “merangsang” pasar untuk menjadikannya sebagai usaha dagang alias bisnis. Banyak bisnis yang berkaitan dengan bidang musik antara lain industri rekaman, event organizer acara musik, hingga industri clothing (sandang) yang berkaitan dengan gaya berpakaian aliran musik tertentu dan bisnis musik pada teknologi komunikasi seperti nada sambung pribadi (NSP).

Bisnis musik melibatkan banyak bidang lain selain musik, seperti yang dituliskan di atas. Jadi dapat dikatakan bahwa bisnis merupakan bisnis yang padat karya. Kadang bisnis bidang musik di luar penciptaan musik malah lebih menghasilkan keuntungan dibanding dengan menciptakan musik itu sendiri. Hal ini membuat pemusik menjadi tersudutkan. Apalagi ditambah dengan maraknya pembajakan lagu, posisi pemusik sebagai produsen komoditi musik semakin tersudutkan. Ibarat petani sebagai produsen komoditi pangan yang hidupnya tidak sejahtera akibat terdapat oknum (tengkulak) yang mengambil keuntungan dari posisi petani yang tidak memiliki daya tawar yang kuat. Begitu juga dengan pemusik yang posisinya sangat lemah. Hasil karya mereka dijual ke masyarakat melalui jasa penjualan perusahaan rekaman dan yang mengambil keuntungan paling banyak dari penjualan tersebut adalah perusahaan rekaman tersebut dengan mendapat sepuluh sampai lima belas persen dari hasil penjualan karya tersebut (dalam bentuk kaset, compact disc, atau NSP). Hal itu membuat kreatifitas pemusik dalam membuat lagu menjadi tersendat akibat kurangnya pernghargaan bagi karya mereka, khususnya penghargaan materiil. Mereka menjadi kurang bergairah untuk mengekspresikan dan menciptakan suatu karya cipta karena pembajakan hasil karya.

Lalu bagaimana dengan makna Hari Musik Nasional yang katanya merupakan penghargaan terhadap profesi pemusik di Indonesia? Pada kenyataannya, penghargaan itu hanya merupakan simbol bahwa pemerintah telah memberi perhatiannya pada insan musik tanah air. Namun, simbol hanya tinggal simbol. Belum terlihat adanya langkah konkret pemerintah untuk mewujudkan penghargaan itu yang salah satunya dapat dilakukan dengan menanggulangi masalah pembajakan. Mungkin karena hal ini PAPPRI mengusulkan Musik diperingati secara nasional dengan menjadikannya sebagai Hari Musik Nasional. PAPPRI melihat telah terjadi ketimpangan pada dunia rekaman Indonesia dengan adanya pembajakan. Maka PAPPRI mendesak pemerintah agar lebih serius menangani masalah pembajakan dengan dicanangkannya Hari Musik Nasional. Namun pencanangan itu masih belum dapat menarik keseriusan pemerintah untuk membenahi masalah ini.


Persatuan dan Hari Musik Nasional

Selain itu ketua DPR Akbar Tandjung mengaitkan Hari Musik Nasional dengan usaha meningkatkan persatuan dan kebangsaan masyarakat Indonesia. Lalu ditetapkanlah tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional mengikuti hari lahir pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Suprtaman. Tapi dimana kaitan antara persatuan bangsa dengan Hari Musik Nasional? Apa karena lagu kebangsaan Indonesia Raya, Indonesia menjadi bersatu? Indonesia bersatu karena ada kesamaan nasib untuk bebas dari penindasan yang dilakukan penjajah. Karena untuk melawan penindas memerlukan basis (persatuan) yang kuat. Jika tidak bersatu maka kemerdekaan tidak dapat diraih. Jadi bukan karena lagu Indonesia Raya Indonesia bersatu, malainkan karena kesamaan nasib. Lagu Indonesia Raya hanya merupakan simbol perlawanan masyarakat Indonesia yang mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu.

Jika dipikirkan lagi kaitan antara persatuan dan Hari Musik Nasional, apakah selama umur Hari Musik Nasional sudah terjadi perbaikan-perbaikan masalah seperti pembajakan? Memang masalah pembajakan merupakan masalah yang besar yang berkaitan dengan keadaan ekonomi penduduk Indonesia. Perekonomian Indonesia yang sedang carut marut “memaksa” terjadinya fenomena pembajakan. Selama penduduk masih belum sejahtera, di sana masih terjadi masalah-masalah sosial seperti masalah pembajakan ini. Hal pembajakan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah moral bangsa. Pembajakan atau pencurian oleh anggapan umum sering dikaitkan dengan moral bangsa. Padahal masalah utamanya adalah faktor ekonomi sebagai motor penggerak kehidupan manusia.

Motif ekonomi pula yang mempengaruhi para pemusik melalui PAPPRI untuk menjadikan Musik sebagai Hari Musik Nasional agar dapat menanggulangi masalah pembajakan yang, secara tidak langsung, akan menganggu proses kreatifitas para pemusik tersebut.

Sudah saatnya Hari Musik Nasional dijadikan sebagai langkah nyata, gerakan untuk memperbaiki taraf hidup musisi Indonesia, terutama musisi-musisi jalanan yang sering tidak diperhatikan. Jangan hanya sampai pada taraf simbol saja. Perayaan Hari Musik Nasional juga jangan hanya sekedar pesta atau konser para musisi saja tanpa ada langkah selanjutnya. Para musisi seharusnya menjadi motor penggerak pada sesama musisi pada khususnya dan sesama manusia pada umumnya untuk memperbaiki taraf hidup akibat sistem yang memiskinkan kita, memiskinkan dalam arti yang luas. Karena dengan taraf hidup layak dan sejahteralah, seorang musisi, seniman, manusia dapat menciptakan sebuah maha karya yang menjadi esensi hidupnya.

0 comments:

Post a Comment