Jusman Dalle |
Seperti diberitakan www.detiknews.com, bahwa pada Selasa (5/4/2011) besok, akan dilangsungkan rapat paripurna DPR untuk memutuskan kelanjutan rencana pembangunan gedung kantor baru tersebut. Proyek tersebut merupakan peninggalan (keputusan) DPR periode 2004-2009 dan dianggarkan pada APBN 2011 dengan estimasi Rp 1,1 - Rp 1,3 triliun.
Sejumlah alasan menjadi pembenaran untuk legitimasi dan meloloskan rencana yang menyakiti hati rakyat tersebut. Diantara alasannya, kapasitas daya tampung gedung yang lama tidak lagi ideal, atau alasan bahwa gedung lama mengalami kemiringan tujuh derajat. Untuk alasan kedua, Departemen PU telah mengadakan kajian komperhensif, dan menyimpulkan gedung lama masih layak digunakan setidaknya hingga 30 tahun ke depan.
Untuk alasan kapasitas, sebenarnya jumlah anggota DPR hanya 560 orang, jika ditambah dengan satu orang sekretaris dan satu orang tenaga cervice room (office boy/ cleaning cervice) untuk masing-masing anggota DPR, berarti gedung DPR hanya dihuni oleh 1680 orang. Itu yang ideal plus sudah meringankan kerja anggota DPR. Tetapi permasalahan yang kemudian muncul, karena adanya tenaga ahli yang katanya untuk memudahkan kinerja anggota DPR.
Gosip soal jumlah tenaga ahli juga tidak jelas, ada yang mengatakan 2 orang, 4 orang, 5 orang bahkan versi lain mengatakan 7 orang untuk setiap anggota DPR. Anggaplah jika setiap anggota DPR dibekali 5 orang staf ahli, artinya dari 560 anggota DPR, ada 2.800 staf ahli, lalu 560 sekretaris.
Seperti dikatakan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso bahwa tahun 2011 ini akan ada penambahan staf ahli. Alasan tersebut yang membuat dua fraksi -Demokrat dan Golkar-, ngotot untuk meneruskan pembangunan gedung megah, yang pada awalnya direncanakan sepaket dengan spa dan kolam renang itu –dikemudian hari direvisi karena kecaman keras membadai-.
Dari titik ini, penulis ingin menggugat. Jumlah tenaga ahli yang melimpah itu, tentu menyakiti hati publik karena kinerjanya tidak sebanding dengan kuantitas dan besaran kocek negara yang harus dirogoh. Bayangkan saja, dari 70 rancangan undang-undang per tahun, hanya 14 yang mampu diselesaikan. Lantas publik bertanya, apa yang mereka lakukan? Jangan-jangan benar apa yang kita sering saksikan di televisi, tidur.
Berdasarkan konstitusi negara, tugas anggota DPR hanya ada tiga: budgeting (penganggaran), legislasi (membuat undang-undang) dan pengawasan. Maka menjadi pertanyaan, betapa naas jika kemudian tiga tugas tersebut tidak mampu diterjemahkan dalam praksis amaliyah.
Inilah realitas yang seharusnya melecut partai politik melakukan revolusi dalam rekrutmen. Implikasi dari lemahnya kompetensi anggota DPR yang ditawarkan ke publik, akhirnya menimbulkan masalah. Aggota DPR yang terpilih bukan orang terbaik dari representasi rakyat yang mampu mengelola negara, akan tetapi semata berdasarkan popularitas, nihil kompetensi. Lagi-lagi, popularitas tidak menjamin kinerja!
Sudah menjadi rahasia umum pula, anggota DPR selalu saja riuh bahkan menyakiti rakyat saat bicara soal anggaran, plesiran, dan sebentuk kosa kata serupa. Namun saat rakyat menjerit, tercekik kemiskinan, bayang-bayangnya pun tak kunjung tiba. Ya, terperangkap digedung yang katanya miring itu.
Salah satunya, komentar Marzuki Alie, Ketua DPR yang mereduksi kritisisme dan peran rakyat. Simaklah keangkuhan politisi Demokrat ini, yang berulang kali menyayat hati rakyat dengan komentar tajamnya. "Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu. Rakyat biasa dari hari ke hari yang penting perutnya terisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak urus yang begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara." (Kompas, 4/4/)
Tentu tidak semua anggota DPR seperti itu -karena ada salah satu diantara sedikit aleg DPR RI yang berasal dari daerah penulis dengan tagline "politik untuk kemanusiaan", memperhatikan dan memberdayakan orang-orang miskin, pemuda dan pedagang kaki lima-, namun juga tidak sedikit yang terperangkap bayang-bayangnya dalam sekat tabir kemewahan. Kita khawatir, realisasi gedung super mewah, menjebak bayang-bayang anggota DPR di lantai 36 dan semakin meninggi, jauh dari rakyat. Bermegah-megah telah melalaikan dari mengingat rakyat.
Kompatibel dengan kutipan nasihat almarhum, KH Rahmat Abdullah. Mantan anggota MPR yang dikenal low profile dan zuhud. "Bila syahwatiyah, mut’iyah dan ibahiyah (hedonism dan permisifisme) telah menjerumuskan manusia ke jurang kerakusan, egoisme dan kolonialisme, maka tak kurang-kurangnya rahbaniyah dengan pseudo pemuliaan ruh telah melicinkan jalan bagi perbudakan manusia oleh pemimpin yang dikultuskan atau membangun kultus individu. Para wali setan telah memanfaatkan kebodohan pengikutnya, bahkan menyuburkan kebodohan, demi kelanggengan kekuasaan mereka."
Pada akhirnya, kita berharap semoga nurani dewan terketuk, dan parpol melakukan pembenahan internal. Membekali para alegnya dengan skills, bukan hanya dalam melaksanakan tugas, tetapi juga dalam memberi pendidikan moral politik kepada masyarakat. Rakyat menggugat!
*) Jusman Dalle adalah Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Analis Society Research And Humanity Develompment (SERUM) Institute.
Sumber Berita :
0 comments:
Post a Comment