Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam
Tidak ada yang menyangkal kehidupan pers di Indonesia sangat bebas di era reformasi sepuluh tahun terakahir ini. Setiap warga negara kini bebas mendirikan perusahaan pers dan menerbitkan berbagai media cetak: koran, tabloid, majalah,bulletin, jurnal, hingga brosur, dll.
- Jurnalis Muslim
Di masa lalu syarat ijin pendirian perusahaan pers berupa SIT (Surat Ijin Terbit), kemudian diperbarui menjadi SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) harus dimiliki melalui SK Menpan (Menteri Penerangan), kini tidak diperlukan lagi. Padahal SIUPP sepanjang puluhan tahun di era orde baru telah menjadi hal yang menakutkan. Kepemilikan SIT-SIUPP hanyalah dikuasai oleh kelompok tertentu. SIT-SIUPP pun diperjualbelikan dengan harga mencapai milyaran rupiah. Dominasi dan penguasaan pers oleh golongan tertentu tak terelakkan. Sementara nasib pers Islam pun menjadi terlunta-lunta.
Sampai Januari 1974, kekuatan pers nasional masih sangat berimbang karena setiap golongan selalu memiliki media (khususnya cetak) yang siap menjadi penyalur aspirasi mereka. Pada saat itu teknologi pers belum lagi menggunakan teknologi modern (cetak offset -cetak datar), dan masih menggunakan teknologi sederhana yakni cetak timbul (seperti kerja stempel). Hari-hari deadline bagi wartawan pada Januari 1974, tak boleh lewat pukul 13.00 Wib, karena berita yang ditulisnya itu harus disusun secara manual melalui plate dari huruf-huruf terbuat dari timah dan disusun satu persatu. Sungguh sangat sederhana.
Kekuatan pers nasional pada Januari 1974 masih sangat berimbang dengan oplag rata-rata di atas 50.000/eksp dan dibawah 100.000/eksp setiap hari terbit. Koran yang memiliki oplag terbesar saat itu adalah Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Saat itu hanya Indonesia Raya yang mampu terbit lebih dari delapan halaman, hingga mencapai 16 halaman bahkan 24 halaman. Sementara Koran-koran lain relatif mempunyai kekuatan yang sama, antara lain: Pedoman (pimpinan Rosihan Anwar), Duta Masyarakat (milik golongan Nahdliyin pimpinan Said Budairi dan Mahbub Djunaidi), Abadi (milik golongan Masyumi/Bulan-Bintang pimpinan S.Tasyrif dan AM.Hoeta Soehoed), Kompas (milik Kelompok Gramedia pimpinan PK Oyong danJacob Oetama), Sinar Harapan (diterbitkan PT Sinar Kasih). Harian Kammi (pimpinan Nono Makarim dan Goenawan Mohamad).
Peta kekuatan pers nasional ini berubah drastis saat terjadi Huru-Hara Malari (Malapetaka 15 Januari) pada 15 Januari 1974. Semua media cetak saat itu terkena breidel yang dilakukan pemerintah. Yang berperan dalam pembreidelan saat itu adalah Pangkopkamtib yang dijabat Jendral Soemitro. Usai pembredelan dalam beberapa hari Jendral Soemitro dicopot dari jabatannya digantikan oleh Laksamana Soedomo. Dengan jabatan barunya itu Soedomo mengumumkan dua koran : Kompas dan Sinar Harapan, diijinkan terbit kembali. Sementara semua koran yang telah disebut dimuka tidak diijinkan terbit lagi.
Hal inilah yang telah menjadi titik awal terjadinya perubahan drastis perimbangan kekuatan pers nasional. Dua koran: Kompas dan Sinar Harapan yang kembali diijinkan terbit bagai mendapat: Blessing in Disguise, berkah di balik musibah. Yang menerima musibah tentu saja semua koran yang tidak lagi diijinkan terbit. Sebaliknya dengan “berkah” yang dimilikinya itu Kompas dan Sinar Harapan melesat di dunia pers di Indonesia bahkan tampil sebagai kekuatan pers raksasa.
Usaha pemerintah memberikan kompensasi SIT koran Pelita kepada golongan Islam khususnya kelompok Partai Persatuan Pembangunan, ternyata tak mampu menolong. Sementara Kompas dan Sinar Harapan bagai mendapatkan hak istimewa sejak saat itu terus diberikan SIT juga SIUPP yang baru oleh Deppen, sehingga masing-masing memiliki SIUPP mencapai puluhan nama. Jadilah dua raksasa pers nasional ini menjadi kekuatan pers nasional yang dominan.
Asset yang dimiliki pun kian membengkak, sehingga terpaksa dilakukan diversifikasi usaha, mulai percetakan, toko buku, perfilman, supermarket, hotel, sampai pergudangan di pelabuhan. Memang pada kelompok Sinar Harapan di tengah jalan jalan mengalami gangguan dengan dibreidelnya koran ini pada akhir 1980-an dan berganti nama menjadi Suara Pembaharuan. Hal ini makin meneguhkan posisi Kompas menjadi kekuatan pers yang sangat dominan di Indonesia.
Sampai kini pun Kompas bahkan menjadi Newsleader dan menjadi rujukan semua media massa termasuk media elektronika : radio dan televisi. Celakanya Kompas tidak selalu ramah pada aspirasi Islam .Kendati sajian Kompas selalu dikemas dengan bahasa yang santun dan “tampak” taat pada kode etik jurnalistik, namun pada muatan-muatan tertentu Kompas dengan sangat “nakal” justru menyisipkan pesan dan opininya yang sangat berlawanan dengan aspirasi Islam.
Contoh paling baru niscaya kasus bentrokan Islam-Kristen di Ciketing dan wilayah Bekasi lainnya belum lama berselang. Pemberitaan Ciketing sangat menyolok diarahkan—melalui berita-berita dan tulisan opini lebih dari satu bulan—seolah-olah kasus Bekasi disebabkan sikap umat Islam di sana yang tidak mengenal toleransi dan mau menghargai golongan minoritas. Sebaliknya diblowup berbagai kejadian dari sudut pandang seolah-olah telah terjadi tindak kekerasan dan anarki bahkan penganiayaan dari pihak Islam kepada orang-orang Kristen yang tertindas.
Penyesatan opini seperti ini niscaya bentuk nyata ketidak-adilan yang dialami oleh umat Islam di negerinya sendiri yang konon menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Usaha tokoh Islam lokal Bekasi dan pusat untuk menjelaskan duduknya-perkara di balik kasus Ciketing sama sekali tidak dimuat oleh pers yang sengaja mewawancarainya.
Dalam posisi seperti inilah sangat dirasakan posisi umat Islam, khususnya di bidang pers sangat lemah dan tak mampu membela dirinya. Dalam kasus Ciketing berulang-ulang dijelaskan pokok masalah Ciketing hanyalah dua hal, yakni pelanggaran ijin lokasi tempat ibadah dan Gerakan Kristenisasi yang agresif di sana. Semua pers nasional juga media elektronika TV , tidak satu pun yang mau memuat keterangan penting dari sisi umat Islam Bekasi itu.
Tiba-tiba akhir bulan lalu sebuah lembaga Barat yang berpusat di Brusel Belgia bernama International Crysis Group (ICG), memuat laporan rinci tentang kasus Ciketing Bekasi. Disebutkan secara telak sebab terjadinya bentrok di Bekasi adalah kegiatan Penginjilan dan Kristenisasi. Fakta yang dikemukakan ICG itu kini dijadikan laporan utama Suara Islam edisi 103. Walau semua media massa nasional tidak mau “melirik” fakta yang telah dibongkar ICG, tapi hal itu tetap dimuat Suara Islam, sekadar menjadi sebuah laporan yang akan menjadi dokumentasi, betapa nasib umat Islam,khususnya pers Islam sangat lemah dan tak mampu menjaga hak-haknya yang jelas-jelas tertindas.
Memang, di era reformasi ini, semua orang bebas menerbitkan pers cetak dalam bentuk apapun. Umat Islam pun bebas menerbitkan kora, tabloid apapun, namun ibarat lomba lari dengan garis finish di Surabaya, maka garis start bagi pers Islam dimulai mdari Rugu Monas, seperti pers “Istimewa” tadi garis start dimulai dari kota Gresik, hanya 30 Km dari kota Surabaya. Pers Islam pasti kalah telak.
Di masa lalu syarat ijin pendirian perusahaan pers berupa SIT (Surat Ijin Terbit), kemudian diperbarui menjadi SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) harus dimiliki melalui SK Menpan (Menteri Penerangan), kini tidak diperlukan lagi. Padahal SIUPP sepanjang puluhan tahun di era orde baru telah menjadi hal yang menakutkan. Kepemilikan SIT-SIUPP hanyalah dikuasai oleh kelompok tertentu. SIT-SIUPP pun diperjualbelikan dengan harga mencapai milyaran rupiah. Dominasi dan penguasaan pers oleh golongan tertentu tak terelakkan. Sementara nasib pers Islam pun menjadi terlunta-lunta.
Sampai Januari 1974, kekuatan pers nasional masih sangat berimbang karena setiap golongan selalu memiliki media (khususnya cetak) yang siap menjadi penyalur aspirasi mereka. Pada saat itu teknologi pers belum lagi menggunakan teknologi modern (cetak offset -cetak datar), dan masih menggunakan teknologi sederhana yakni cetak timbul (seperti kerja stempel). Hari-hari deadline bagi wartawan pada Januari 1974, tak boleh lewat pukul 13.00 Wib, karena berita yang ditulisnya itu harus disusun secara manual melalui plate dari huruf-huruf terbuat dari timah dan disusun satu persatu. Sungguh sangat sederhana.
Kekuatan pers nasional pada Januari 1974 masih sangat berimbang dengan oplag rata-rata di atas 50.000/eksp dan dibawah 100.000/eksp setiap hari terbit. Koran yang memiliki oplag terbesar saat itu adalah Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Saat itu hanya Indonesia Raya yang mampu terbit lebih dari delapan halaman, hingga mencapai 16 halaman bahkan 24 halaman. Sementara Koran-koran lain relatif mempunyai kekuatan yang sama, antara lain: Pedoman (pimpinan Rosihan Anwar), Duta Masyarakat (milik golongan Nahdliyin pimpinan Said Budairi dan Mahbub Djunaidi), Abadi (milik golongan Masyumi/Bulan-Bintang pimpinan S.Tasyrif dan AM.Hoeta Soehoed), Kompas (milik Kelompok Gramedia pimpinan PK Oyong danJacob Oetama), Sinar Harapan (diterbitkan PT Sinar Kasih). Harian Kammi (pimpinan Nono Makarim dan Goenawan Mohamad).
Peta kekuatan pers nasional ini berubah drastis saat terjadi Huru-Hara Malari (Malapetaka 15 Januari) pada 15 Januari 1974. Semua media cetak saat itu terkena breidel yang dilakukan pemerintah. Yang berperan dalam pembreidelan saat itu adalah Pangkopkamtib yang dijabat Jendral Soemitro. Usai pembredelan dalam beberapa hari Jendral Soemitro dicopot dari jabatannya digantikan oleh Laksamana Soedomo. Dengan jabatan barunya itu Soedomo mengumumkan dua koran : Kompas dan Sinar Harapan, diijinkan terbit kembali. Sementara semua koran yang telah disebut dimuka tidak diijinkan terbit lagi.
Hal inilah yang telah menjadi titik awal terjadinya perubahan drastis perimbangan kekuatan pers nasional. Dua koran: Kompas dan Sinar Harapan yang kembali diijinkan terbit bagai mendapat: Blessing in Disguise, berkah di balik musibah. Yang menerima musibah tentu saja semua koran yang tidak lagi diijinkan terbit. Sebaliknya dengan “berkah” yang dimilikinya itu Kompas dan Sinar Harapan melesat di dunia pers di Indonesia bahkan tampil sebagai kekuatan pers raksasa.
Usaha pemerintah memberikan kompensasi SIT koran Pelita kepada golongan Islam khususnya kelompok Partai Persatuan Pembangunan, ternyata tak mampu menolong. Sementara Kompas dan Sinar Harapan bagai mendapatkan hak istimewa sejak saat itu terus diberikan SIT juga SIUPP yang baru oleh Deppen, sehingga masing-masing memiliki SIUPP mencapai puluhan nama. Jadilah dua raksasa pers nasional ini menjadi kekuatan pers nasional yang dominan.
Asset yang dimiliki pun kian membengkak, sehingga terpaksa dilakukan diversifikasi usaha, mulai percetakan, toko buku, perfilman, supermarket, hotel, sampai pergudangan di pelabuhan. Memang pada kelompok Sinar Harapan di tengah jalan jalan mengalami gangguan dengan dibreidelnya koran ini pada akhir 1980-an dan berganti nama menjadi Suara Pembaharuan. Hal ini makin meneguhkan posisi Kompas menjadi kekuatan pers yang sangat dominan di Indonesia.
Sampai kini pun Kompas bahkan menjadi Newsleader dan menjadi rujukan semua media massa termasuk media elektronika : radio dan televisi. Celakanya Kompas tidak selalu ramah pada aspirasi Islam .Kendati sajian Kompas selalu dikemas dengan bahasa yang santun dan “tampak” taat pada kode etik jurnalistik, namun pada muatan-muatan tertentu Kompas dengan sangat “nakal” justru menyisipkan pesan dan opininya yang sangat berlawanan dengan aspirasi Islam.
Contoh paling baru niscaya kasus bentrokan Islam-Kristen di Ciketing dan wilayah Bekasi lainnya belum lama berselang. Pemberitaan Ciketing sangat menyolok diarahkan—melalui berita-berita dan tulisan opini lebih dari satu bulan—seolah-olah kasus Bekasi disebabkan sikap umat Islam di sana yang tidak mengenal toleransi dan mau menghargai golongan minoritas. Sebaliknya diblowup berbagai kejadian dari sudut pandang seolah-olah telah terjadi tindak kekerasan dan anarki bahkan penganiayaan dari pihak Islam kepada orang-orang Kristen yang tertindas.
Penyesatan opini seperti ini niscaya bentuk nyata ketidak-adilan yang dialami oleh umat Islam di negerinya sendiri yang konon menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Usaha tokoh Islam lokal Bekasi dan pusat untuk menjelaskan duduknya-perkara di balik kasus Ciketing sama sekali tidak dimuat oleh pers yang sengaja mewawancarainya.
Dalam posisi seperti inilah sangat dirasakan posisi umat Islam, khususnya di bidang pers sangat lemah dan tak mampu membela dirinya. Dalam kasus Ciketing berulang-ulang dijelaskan pokok masalah Ciketing hanyalah dua hal, yakni pelanggaran ijin lokasi tempat ibadah dan Gerakan Kristenisasi yang agresif di sana. Semua pers nasional juga media elektronika TV , tidak satu pun yang mau memuat keterangan penting dari sisi umat Islam Bekasi itu.
Tiba-tiba akhir bulan lalu sebuah lembaga Barat yang berpusat di Brusel Belgia bernama International Crysis Group (ICG), memuat laporan rinci tentang kasus Ciketing Bekasi. Disebutkan secara telak sebab terjadinya bentrok di Bekasi adalah kegiatan Penginjilan dan Kristenisasi. Fakta yang dikemukakan ICG itu kini dijadikan laporan utama Suara Islam edisi 103. Walau semua media massa nasional tidak mau “melirik” fakta yang telah dibongkar ICG, tapi hal itu tetap dimuat Suara Islam, sekadar menjadi sebuah laporan yang akan menjadi dokumentasi, betapa nasib umat Islam,khususnya pers Islam sangat lemah dan tak mampu menjaga hak-haknya yang jelas-jelas tertindas.
Memang, di era reformasi ini, semua orang bebas menerbitkan pers cetak dalam bentuk apapun. Umat Islam pun bebas menerbitkan kora, tabloid apapun, namun ibarat lomba lari dengan garis finish di Surabaya, maka garis start bagi pers Islam dimulai mdari Rugu Monas, seperti pers “Istimewa” tadi garis start dimulai dari kota Gresik, hanya 30 Km dari kota Surabaya. Pers Islam pasti kalah telak.
Sumber : suaraislam.com
0 comments:
Post a Comment